Opini Saifuddin Bantasyam: Menyambut Debat Kedua Capres

Saifuddin Bantasyam | facebook/saifuddin.bantasyam


Oleh Saifuddin Bantasyam PADA 17 Februari mendatang, akan berlangsung debat yang kedua calon presiden dan wakil presiden (selanjutnya disebut debat capres). Ada lima tema kali ini, yaitu energi, pangan, infrastruktur, sumber daya alam, dan lingkungan hidup, dan hanya berlangsung antarcapres saja. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melakukan sejumlah modifikasi atau perubahan sebagai respons atas kritik publik atas rendahnya kualitas debat pertama. Biangnya masalah dalam debat pertama adalah pemberian kisi-kisi kepada kedua pasangan calon (paslon). Akibatnya, debat berjalan kaku, dan bahkan disebut seperti Cerdas-Cermat, paslon pun terpaku kepada teks. Durasi debat yang sangat pendek membuat kedua paslon tak mampu tampil eksploratif. Dua moderator juga dianggap gagal membantu debat menjadi lebih menarik. Setelah evaluasi, KPU memutuskan tak akan memberi kisi-kisi dalam debat kedua ini. KPU juga menentukan sendiri panelis debat tanpa campur tangan kedua paslon. Durasi debat untuk segmen tertentu juga akan ditambah, misalnya menjadi 3-5 menit, bahkan segmen tanya jawab antarcapres mungkin menjadi lima belas menit.Dua moderator baru sudah ditetapkan, meskipun idealnya cukup moderator saja. Perubahan lain adalah posisi duduk tim sukses, yang dalam debat pertama dianggap terlalu berisik dan mengganggu paslon. Keberhasilan sebuah debat ditentukan oleh banyak faktor. Di satu sisi, KPU misalnya, bertanggung jawab penuh dari sisi teknis debat, yang dimulai dari penentuan jadwal, penetapan panelis dan moderator, penentuan durasi debat, pemilihan tempat, desain ruangan (ruang transit, posisi podium, posisi timses dan undangan, sound system dan lain-lain), sampai kepada koordinasi KPU dengan pihak hotel, petugas keamanan dan stasiun televisi yang menyiarkan langsung acara debat. Lalu, dan menjadi bagian yang juga tak kalah penting, dari sisi timses kedua paslon. Biasanya, ada yang disebut dengan Tim Persiapan Debat (TPD), dan tentu TDP ini sudah bekerja saat debat pertama dulu. Tetapi kemudian ada beberapa kritik yang diarahkan kepada kedua paslon, dianggap tampil tegang, tidak 100 persen fokus pertanyaan, retorika yang tanggung, tak mampu memaksimalkan waktu, bahasa tubuh kurang optimal, dan closing statement yang hambar. Kritik-kritik tersebut menandakan bahwa TPD tak optimal, padahal ada modal penting yang sudah dimiliki, yaitu bahwa kedua paslon sudah punya pengalaman dalam debat Pilpres 2014. Performa paslon Besar kemungkinan, optimalisasi performa paslon kali ini terhambat karena situasi kontestasi yang berbeda dengan Pilpres 2014. Pilpres 2019 ini jauh lebih menegangkan, dan kontestasinya sudah tidak lagi fokus pada isu-isu substantif. Energi kedua paslon dan timsesnya tersedot ke persoalan-persoalan “tahu dan tempe” dan juga keasyikan berbalas pantun. Tiba-tiba, jadwal debat semakin dekat dan dekat, maka meskipun sudah ada kisi-kisi, tak ada sesuatu yang besar yang keluar dari debat pertama itu. Kuncinya ada pada persiapan mulai dari prediksi pertanyaan para panel dan lawan debat, jawaban dan cara menjawab, menyusun pertanyaan, memprediksi jawaban lawan atas pertanyaan, memilih pakaian, sampai kepada menyusun narasi untuk penutupan. Simulasi merupakan satu kunci penting. Para capres dan cawapres di Amerika Serikat (AS) sebagai contoh, melakukan 10 sampai 12 kali simulasi. George W Bush, misalnya, mengajak Judd Gregg (Senator Partai Republik) berperan sebagai Al Gore pada 2000 dan sebagai John Kerry pada 2004. Dalam dua kali debat 2008 dan 2014, Obama juga melakukan simulasi dengan mengajak tokoh Partai Demokrat untuk bertindak sebagai lawan debatnya. Demikian juga lawan debat Obama, menunjuk politisi senior Partai Republik untuk berdiri pada posisi Obama. Dalam debat capres RI 2019, publik sedikit sekali mendapatkan informasi tentang ada tidak simulasi oleh capres 01 dan 02, dan kalau ada, berapa kali, serta siapa sosok yang bertindak sebagai “Prabowo-Sandi” dan “Jokowi-Ma’ruf”. Tanggung jawab untuk simulasi ini ada pada TPD itu. TPD ini juga menyiapkan apa yang disebut dengan briefing book untuk paslonnya dan position book (berisi sikap politik lawan terhadap tema debat). Seperti juga etika yang harus dipegang, dan hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan seorang pembicara atau narasumber dalam presentasinya, maka dalam debat juga demikian. Salah satunya adalah never show disdain for the opposition (jangan menghina dan menganggap rendah lawan debat), dan don’t get personal (jangan membawa debat menjadi urusan pribadi) kecuali jika lawan menyerang (sisi pribadi), maka serangan balasan mungkin perlu dipertimbangkan. Bagaimana dalam debat pertama bulan lalu? Publik tentu bisa melihat sendiri tentang dua hal tersebut.
Jadi, di samping peduli kepada etika di atas, maka setiap paslon harus memiliki pesan kunci atau pesan utama, yang dengan kepiawaian paslon, selalu dimunculkan selama debat berlangsung. Apa pesan utama paslon 01 dan 02 kemarin? Mungkin ada yang tahu, tetapi mungkin juga ada yang sama sekali tak tahu, ketidaktahuan mana bisa jadi disebabkan performan paslon yang tak maksimal. Persiapan Persiapan lagi-lagi menjadi kata kunci. Pertanyaan kepada lawan debat dalam debat pertama bulan lalu, sepertinya kurang greget, kurang tajam, masih main di pinggiran, dan jawabannya juga di pinggiran. Pertanyaan yang diajukan seharusnya adalah pertanyaan yang membuat lawan debat kelihatan tak mampu menjawab, bukan pertanyaan yang memperlihatkan lawan debat malah terlihat lebih jago atau pintar dibanding penanya. Dalam presentasi publik, peran alat bantu sangatlah penting. Alat bantu yang paling utama adalah (kualitas) presenter itu sendiri. Melengkapi dirinya, antara lain, adalah pakaian yang digunakan (putih hitam oleh paslon 01 dan jas hitam lengkap oleh paslon 02). Seberapa menarikkah kostum kedua paslon tersebut? Publik mungkin punya rasa dan jawaban tersendiri. Pakaian merepresentasi banyak hal dari sosok masing-masing paslon. Selain pakaian, maka bahasa tubuh berada pada daftar aspek yang paling berperan. Dalam sebuah tulisan disebutkan bahwa Richard Nixon pernah sangat menyesali dirinya saat tampil melawan John F Kennedy dalam debat capres 1960. “Saya terlalu fokus pada apa yang saya ingin katakan, dan tidak peduli kepada penampilan saya,” katanya. Michael Dukakis yang bertubuh relatif pendek untuk ukuran rata-rata orang Barat, terpaksa dipoles oleh TPD-nya dengan menaruh bangku dibawah kakinya, disamarkan di bawah karpet, saat berdiri di podium ketika debat melawan George Bush Sr pada 1988. Bahasa tubuh adalah kondisi bagaimana paslon menggunakan seluruh apa yang ada di badannya agar terlihat tampil dengan penuh percaya diri. Tujuan debat yang sesungguhnya adalah untuk membuat audien (rakyat) merasakan bahwa paslon adalah orang-orang yang siap untuk memimpin negeri ini. Saat debat, kedua paslon perlu mengerahkan potensinya sampai 100 persen dan memperlihatkan kesiapan itu kepada rakyat dengan cara-cara yang meyakinkan. KPU perlu diapresiasi atas sikap responsifnya kepada berbagai kritik. Bagaimana kedua paslon dan timsesnya merespons kritik, akan terlihat dalam debat kedua nanti. Tapi satu hal sudah jelas; persiapan adalah kunci kesuksesan. Paslon yang naik tanpa persiapan akan turun dari panggung tanpa kehormatan. Nah! * Saifuddin Bantasyam, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), bergiat dalam Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Banda Aceh. Email: saif.bantasyam@gmail.com Sumber : Serambi Indonesia

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama