Mengenal Budaya dan Sastra Kontemporer

Notula Pertemuan Ke-18
Hari dan Tanggal : Rabu, 22 November 2017
Tempat                  : Ruang Memorial Perdamaian Aceh di Kantor Kesbangpol Aceh
Pemateri              : Azhari Aiyub (Sastrawan dan Redaktur Tamu Rubrik Budaya Harian Serambi Indonesia)
Topik                      : Budaya dan Sastra Kontemporer
Notula                    : Ihan Nurdin

Sastra cakupannya sangat luas dan usianya sudah sangat tua, serta berkembang sudah sangat jauh. Sastra adalah satu bahasa yang berasal dari bahasa Sanskerta, ketika itu orang-orang sudah mulai mengenal tulisan. Semua yang tertulis baik itu di atas kertas, tulang, lontar, yang berwujud aksara disebut sastra.
Sebelum manusia mengenal aksara, orang 'mengawetkan' sastra melalui lisan dan ingatan. Intinya segala sesuatu yang tertulis dan bisa disimpan dalam kurun waktu tertentu disebut sebagai sastra. Bisa berupa mantra sihir, silsilah keluarga, ajaran agama, tradisi pertanian, atau tradisi falak. Contohnya Mahabarata, Ramayana. 

Dalam perkembangannya sastra ditulis dalam bentuk cerita atau sajak. Namun, ada perbedaan mencolok antara dulu dengan sekarang. Dulu akses ke cerita/sastra sangat terbatas. Hanya segelintir orang yang bisa mengakses informasi tersebut, seperti pendeta dan kalangan istana. Dalam aspek lain pada masa itu seseorang yang mampu mengakses/menguasai sastra dianggap sebagai orang yang menguasai banyak hal. 

Hal ini berbeda dengan kalangan bawah seperti petani dan nelayan yang tidak punya akses sama sekali. Atau jika pun mereka bisa mengaksesnya, maka cerita-cerita atau informasi tersebut sudah disaring terlebih dahulu oleh pihak berwenang. 

Jadi pada masa itu aksara ini semacam rahasia, inskripsi, atau sandi yang disusun untuk menjelaskan sesuatu. Sehingga jika bisa diakses oleh segala kalangan dikhawatirkan akan membahayakan kondisi negara/wilayah. Tak heran kalau banyak masyarakat menengah ke bawah mengalami buta huruf, karena aksara dinilai sebagai milik orang-orang berlevel tinggi.

Dalam prakteknya sastra dipersempit dan dikelompokkan menjadi novel, puisi, sajak, skenario, atau prosa yang berasal dari rekaan/khayalan/imajinasi/fiksi. Hal ini membuat sastra menjadi dibedakan dengan literasi lain yang berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu seperti ilmu humaniora, antropologi, sosiologi, atau kajian politik.

Dalam sastra, sekalipun cerita fiksi tetap harus mempertimbangkan unsur kelogisan. Karena pada prinsipnya sastra adalah medium untuk menyampaikan banyak hal. Soal perwatakan tokoh dalam cerita yang ditulis juga perlu diperhatikan. Dan memperhatikan alur cerita agar tidak datar.

Selain sebagai benda, sastra juga bisa menjadi sebuah sifat yaitu sastrawi. Sehingga dikenallah ada istilah jurnalisme sastrawi. Jadi bagus atau tidaknya suatu tulisan bisa kita kenali dari sifatnya/ sastrawi atau tidak karya tersebut. Dalam konteks ini sifat sastrawi tidak hanya bisa dipraktekkan dalam karya sastra semata.

Kunci untuk menjadi penulis haruslah banyak membaca.

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama